Senin, 16 Februari 2015

PENYALAHGUNAAN OBAT TERLARANG DI KALANGAN REMAJA

Sebuah jalan seputaran kampus di Kota Malang, pada malam hari akan bisa kita lihat fenomena yang luar biasa yang mungkin bisa kita lihat hampir di seluruh kota besar yang asa di indonesia yaitu mangkalnya para pemuda. Hal ini akan nampak sekali ketika malam minggu mereka berdandan ala kadarnya dan kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa baik itu dari PTS maupun dari PTN. Hal yang tidak pernah mereka lupakan oleh mereka pada setiap mereka mangkal di sana adalah minuman keras yang di campur dengan berbagai ramuan obat-obatan yang lainya. Mereka sangat rentan sekali untuk menggunakan obat-obatan seperti leksotan, destro, nipam dan lain sebagainya. Masalah minum-minuman keras dan obat-obat terlarang akhir-akhir ini kian serius diperbincangkan baik itu oleh para praktisi maupun oleh pemerintah. Akhir-akhir ini penulis melihat bahwa pemerintah maupun dari fihak keamanan lamban dalam menyikapi fenomena ini. Hal ini terbukti bahwa masih banyaknya agen-agen yang menjual minuman keras secara bebas sehingga memacu para pengkonsumsi untuk membeli kemudian menggunakannya. Peredaran narkotika di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir semakin marak. Berdasarkan data Badan Koordinasi Narkotika Nasional tahun 2000, ada sekitar 3,5 juta orang penyalahguna narkotika di Indonesia. Diindikasikan, besarnya jumlah ini disebabkan Indonesia terutama di beberapa kota besar seperti Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar menjadi daerah tujuan pasar narkotika internasional, dan bukan lagi “sekedar” menjadi tempat transit. Mengkhawatirkannya, target utama pasar narkotika ini adalah para remaja. Misalnya di Jakarta saja, pada tahun 2000 ditenggarai ada lebih dari 166 SMTP dan 172 SLTA yang menjadi pusat peredaran narkotika dengan lebih dari 2000 siswa terlibat di dalamnya. Angka inipun masih akan lebih besar, karena fenomena ini seperti gunung es, yaitu yang tampak hanya permukaannya saja dan sebagian besar yang lain belum terlihat. Diperkirakan setiap 1 penyalahguna narkotika yang dapat diidentifikasi, ada 10 orang lainnya yang belum ketahuan. Dari data singkat mengenai peredaran narkotika di Indonesia dan Jakarta ini, terlihat betapa mengkhawatirkannya ancaman narkotika bagi generasi muda Indonesia (lihat akibat NAPZA). Apalagi kalau melihat akibat-akibat yang ditimbulkannya. Padahal, narkotika hanyalah satu dari beberapa zat berbahaya bila disalahgunakan, di samping alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) Sudah banyak usaha yang dilakukan dalam menangani fenomena ini. Dari segi pencegahan, pihak-pihak yang berwenang sudah melakukan berbagai tindakan untuk menangkal masuknya zat-zat terlarang itu ke Indonesia. Namun, terlepas dari hasil tindakan para aparat itu, keluarga sendiri dapat menciptakan kondisi di mana NAPZA sulit untuk masuk. Sedangkan, bagi yang sudah terlanjur, ada banyak alternatif penanganan untuk pemulihan, baik dari segi medis, psikologis maupun spiritual. Tapi yang paling penting buat remaja sendiri dan orang tua yang anaknya belum terlibat, jangan menganggap bahwa hal ini tidak akan mengenai saya atau keluarga saya. Hindari mitos “Ah, itu kan terjadi di keluarga lain saja, saya dan keluarga saya tidak mungkin”. Pencegahan selalu lebih baik. Penyalahgunaan obat terlarang di kalangan remaja/pelajar merupakan masalah yang kompleks. Kenapa? Oleh karena tidak saja menyangkut pada remaja atau pelajar itu sendiri, tetapi juga melibatkan banyak pihak baik keluarga, lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah, teman sebaya, tenaga kesehatan, serta aparat hukum, baik sebagai faktor penyebab, pencetus ataupun yang menanggulangi. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa puber. Pada masa inilah umumnya dikenal sebagai masa "pancaroba" keadaan remaja penuh energi, serba ingin tahu, belum sepenuhnya memiliki pertimbangan yang matang, mudah terombang-ambing, mudah terpengaruh, nekat dan berani, emosi tinggi, selalu ingin coba dan tidak mau ketinggalan. Pada masa-masa inilah mereka merupakan kelompok yang paling rawan berkaitan dengan penyalahgunaan obat terlarang. Pengetahuan mengenai bahaya obat terlarang ini hanyalah merupakan salah satu segi yang perlu disampaikan agar mereka sadar akan dampaknya terhadap kesehatannya bahkan ancaman terhadap kehidupannya. Kalau saja semua perilaku pada masa remaja tersebut terarah dengan baik pada hal-hal yang positif tentunya akan dihasilkan remaja/pelajar yang berprestasi sebagai tumpuan masa depan, tetapi sebaliknya akan menghasilkan perilaku negatif seperti kenakalan remaja, tindak kejahatan, rusaknya fisik dan mental yang sangat merugikan dirinya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Penyalahgunaan obat atau "drug abuse" berasal dari kata "salah guna" atau "tidak tepat guna" merupakan suatu penyelewengan penggunaan obat bukan untuk tujuan medis/pengobatan atau tidak sesuai dengan indikasinya. Dalam percakapan sehari-hari sering kita menggunakan kata narkotik sebagai satu-satunya obat terlarang. Apakah memang demikian? Ternyata dari istilah-istilah yang sedang populer sekarang seperti NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif lainya) atau NARKOBA (Narkotika, Psikotropika, dan bahan bahaya lainnya), maka obat terlarang itu juga mencakup psikotropika, alkohol, tembakau, dan zat adiktif dan yang memabukkan lainnya. Obat-obat ini apabila digunakan secara tidak benar akan menyebabkan perubahan pikiran, perasaaan, dan tingkah laku pemakainya serta menyebabkan gangguan fisik dan psikis dan kerusakkan susunan saraf pusat bahkan sampai menyebabkan kematian. Secara farmakologik, obat-obatan ini dapat menyebabkan terjadinya toleransi, depedensi atau ketergantungan berupa adiksi dan habituasi, intoksikasi dan gejala putus obat (withdrawal syndrome). Dalam bidang hukum juga sudah dikeluarkan dua undang-undang, yaitu: UU Narkotika No. 22 Tahun 1997 dan UU Psikotropika No. 5 Tahun 1997. Dalam undang-undang tersebut, narkotika dibedakan menjadi 3 golongan, masing-masing: Narkotika golongan I (tidak digunakan untuk tujuan medis, seperti morfin, heroin, kokain dan kanabis). Narkotika golongan II (digunakan untuk terapi sebagai pilihan akhir karena adanya efek ketergantungan yang kuat, seperti petidin, metadon), dan Narkotika golongan III (digunakan untuk terapi karena efek ketergantungannya kecil, seperi kodein, doveri). Sedangkan dalam UU Psikotropika didefinisikan sebagai zat atau obat bukan narkotik tetapi berkhasiat psikoaktif berupa perubahan aktivitas mental/tingkah laku melalui pengaruhnya pada susunan saraf pusat serta dapat menyebabkan efek ketergantungan. Psikotropika dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu: Psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan pengobatan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat, contoh: LSD, MDMA dan mascalin. Psikotropika yang berkhasiat terapi tetapi dapat menimbulkan ketergantungan seperti amfetamin. Psikotropika dari kelompok hipnotik sedatif, seperti barbiturat. Efek ketergantungannya sedang. Psikotropika yang efek ketergantungannya ringan, seperti diazepam, nitrazepam. PENGERTIAN KETERGANTUNGAN OBAT Menurut pedoman penggolongan diagnosa gangguan jiwa ke 1 (PPDGJ-1) untuk menegakkan diagnosa ketergantungan obat “mutlak diperlukan bukti adanya penggunaan dan kebutuhan yang terus menerus”. Terdapatnya gejala abstenensi bukan satu-satunya bukti dan juga tidak selalu ada, umpamanya pada penghentian pemakaian kokain dan ganja (marihuana). Obat yang diberikan oleh dokter tidak termasuk dalam pengertian ini selama penggunaan obat tersebut berindikasi medik Istilah ketergantungan obat mempunyai arti yang lebih luas dari pada istilah ketagihan atau adiksi obat. “Expert committee on drug liable to produce addiction” (panitia ahli tentang obat-obat yang besar kemungkinannya menimbulkan ketagihan). WHO menyarankan definisi ketagihan sebagai berikut: Ketagihan obat adalah suatu keadaan keracunan yang periodic atau menahun, yang merugikan individu sendiri dan masyarakat serta yang disebabkan oleh penggunaan suatu obat (asli atau sintetik) yang berulang-ulang dengan ciri-ciri sebagai berikut, yaitu adanya: keinginan atau kebutuhan yang luar biasa untuk meneruskan penggunaan obat itu dan usaha mendapatkannya dengan segala cara. kecenderungan menaikkan dosis. ketergantungan psikologik (emosional) dan kadang-kadang juga ketergantungan fisik pada obat itu. PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTUNGAN NAPZA Dalam percakapan sehari-hari, sering digunakan istilah narkotika, narkoba, NAZA maupun NAPZA. Secara umum, kesemua istilah itu mengacu pada pengertian yang kurang-lebih sama yaitu penggunaan zat-zat tertentu yang mempengaruhi sistem saraf dan menyebabkan ketergantungan (adiksi). Namun dari maraknya berbagai zat yang disalahgunakan di Indonesia akhir-akhir ini, penggunaan istilah narkotika saja kurang tepat karena tidak mencakup alkohol, nikotin dan kurang menegaskan sejumlah zat yang banyak dipakai di Indonesia yaitu zat psikotropika. Karena itu, istilah yang dianggap tepat untuk saat ini adalah NAPZA : narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Beberapa jenis NAPZA yang populer digunakan di Indonesia : Putau : tergolong heroin yang sangat membuat ketergantungan, berbentuk bubuk. Ganja : berisi zat kimia delta-9-tetra hidrokanbinol, berbentuk tanaman yang dikeringkan. Shabu-shabu: kristal yang berisi methamphetamine. Ekstasi: methylendioxy methamphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul. Pil BK, megadon dan obat-obat depresan sejenis. Pada awalnya, zat-zat ini digunakan untuk tujuan medis seperti penghilang rasa sakit. Namun apabila zat-zat ini digunakan secara tetap, bukan untuk tujuan medis atau yang digunakan tanpa mengikuti dosis yang seharusnya, serta dapat menimbulkan kerusakan fisik, mental dan sikap hidup masyarakat, maka disebut penyalahgunaan NAPZA (drug abuse). Salah satu sifat yang menyertai penyalahgunaan NAPZA adalah ketergantungan (addiction). Misalnya heroin yang ditemukan oleh Henrich Dresser tahun 1875, digunakan untuk menggantikan morfin dalam pembiusan karena diduga heroin tidak menimbulkan ketergantungan. Padahal – keduanya berasal dari opium – heroin justru menimbulkan ketergantungan yang sangat kuat. Sejarah juga menunjukkan bahwa banyak tentara Amerika pasca perang Vietnam menjadi ketergantungan heroin karena zat ini sering digunakan sebagai penghilang rasa sakit selama perang berlangsung. Ciri-ciri ketergantungan NAPZA: a) Keinginan yang tak tertahankan untuk mengkonsumsi salah satu atau lebih zat yang tergolong NAPZA. b) Kecenderungan untuk menambah dosis sejalan dengan batas toleransi tubuh yang meningkat. c) Ketergantungan psikis, yaitu apabila penggunaan NAPZA dihentikan akan menimbulkan kecemasan, depresi dan gejala psikis lain. d) Ketergantungan fisik, yaitu apabila pemakaian dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang disebut gejala putus zat (withdrawal syndrome). FAKTOR PENYEBAB PENYALAHGUNAAN NAPZA Pada setiap kasus, ada penyebab yang khas mengapa seseorang menyalahgunakan NAPZA dan ketergantungan. Artinya, mengapa seseorang akhirnya terjebak dalam perilaku ini merupakan sesuatu yang unik dan tidak dapat disamakan begitu saja dengan kasus lainnya. Namun berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa faktor yang Berperan pada penyalahgunaan NAPZA. Faktor keluarga Dalam percakapan sehari-hari, keluarga paling sering menjadi “tertuduh” timbulnya penyalahgunaan NAPZA pada anaknya. Tuduhan ini tampaknya bukan tidak beralasan, karena hasil penelitian dan pengalaman para konselor di lapangan menunjukkan peranan penting dari keluarga dalam kasus-kasus penyalahgunaan NAPZA. Berdasarkan hasil penelitian tim UNIKA Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang beresiko tinggi anggota keluarganya (terutama anaknya yang remaja) terlibat penyalahgunaan NAPZA. Keluarga yang memiliki sejarah (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan NAPZA. Keluarga dengan menejemen keluarga yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya, ayah bilang ya, ibu bilang tidak). Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara. Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Di sini peran orang tua sangat dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri tanpa diberi kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya. Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam banyak hal. Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, dan sering berlebihan dalam menanggapi sesuatu. Faktor kepribadian Kepribadian penyalahguna NAPZA juga turut berperan dalam perilaku ini. Pada remaja, biasanya penyalahguna NAPZA memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif agresif dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi. Selain itu, kemampuan remaja untuk memecahkan masalahnya secara adekuat berpengaruh terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan melarikan diri. Hal ini juga berkaitan dengan mudahnya ia menyalahkan lingkungan dan lebih melihat faktor-faktor di luar dirinya yang menentukan segala sesuatu. Dalam hal ini, kepribadian yang dependen dan tidak mandiri memainkan peranan penting dalam memandang NAPZA sebagai satu-satunya pemecahan masalah yang dihadapi. Sangat wajar bila dalam usianya remaja membutuhkan pengakuan dari lingkungan sebagai bagian pencarian identitas dirinya. Namun bila ia memiliki kepribadian yang tidak mandiri dan menganggap segala sesuatunya harus diperoleh dari lingkungan, akan sangat memudahkan kelompok teman sebaya untuk mempengaruhinya menyalahgunakan NAPZA. Di sinilah sebenarnya peran keluarga dalam meningkatkan harga diri dan kemandirian pada anak remajanya. Faktor kelompok teman sebaya (peer group) Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara teman-teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu. Tekanan kelompok dialami oleh semua orang bukan hanya remaja, karena pada kenyataannya semua orang ingin disukai dan tidak ada yang mau dikucilkan. Kegagalan untuk memenuhi tekanan dari kelompok teman sebaya, seperti berinteraksi dengan kelompok teman yang lebih populer, mencapai prestasi dalam bidang olah raga, sosial dan akademik, dapat menyebabkan frustrasi dan mencari kelompok lain yang dapat menerimanya. Sebaliknya, keberhasilan dari kelompok teman sebaya yang memiliki perilaku dan norma yang mendukung penyalahgunaan NAPZA dapat muncul. Faktor kesempatan Ketersediaan NAPZA dan kemudahan memperolehnya juga dapat dikatakan sebagai pemicu. Indonesia yang sudah mendjadi tujuan pasar narkotika internasional, menyebabkan zat-zat ini dengan mudah diperoleh. Bahkan beberapa media massa melansir bahwa para penjual narkotika menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah, termasuk sampai di SD. Penegakan hukum yang belum sepenuhnya berhasil tentunya dengan berbagai kendalanya juga turut menyuburkan usaha penjualan NAPZA di Indonesia. Akhirnya, dari beberapa faktor yang sudah diuraikan, tidak ada faktor yang satu-satu berperan dalam setiap kasus penyalahgunaan NAPZA. Ada faktor yang memberikan kesempatan, dan ada faktor pemicu. Biasanya, semua faktor itu berperan. Karena itu, penanganannya pun harus melibatkan berbagai pihak, termasuk keterlibatan aktif orang tua. AKIBAT PENYALAHGUNAAN NAPZA Factor kepribadian seseorang mempengaruhi apakah ia akan tergantung pada suatu obat atau tidak. Orang yang merasa tidak mantap serta mempunyai sifat tergantung dan pasif lebih cenderung menjadi tergantung pada obat. Factor sosio budaya juga tidak kalah penting dan saling mempengaruhi dengan factor kepribadian. Di Indonesia rupanya lebih banyak penderita ketergantungan obat berasal dari golongan sosio-ekonomi menengah (karena perkembangan golongan ini yang pesat sehingga lebih mengganggu kestabilan individu dan keluarga). Paling tidak terdapat 3 aspek akibat langsung penyalahgunaan NAPZA yang berujung pada menguatnya ketergantungan. · Secara fisik: penggunaan NAPZA akan mengubah metabolisme tubuh seseorang. Hal ini terlihat dari peningkatan dosis yang semakin lama semakin besar dan gejala putus obat. Keduanya menyebabkan seseorang untuk berusaha terus-menerus mengkonsumsi NAPZA. · Secara psikis: berkaitan dengan berubahnya beberapa fungsi mental, seperti rasa bersalah, malu dan perasaan nyaman yang timbul dari mengkonsumsi NAPZA. Cara yang kemudian ditempuh untuk beradaptasi dengan perubahan fungsi mental itu adalah dengan mengkonsumsi lagi NAPZA. · Secara sosial: dampak sosial yang memperkuat pemakaian NAPZA. Proses ini biasanya diawali dengan perpecahan di dalam kelompok sosial terdekat seperti keluarga sehingga muncul konflik dengan orang tua, teman-teman, pihak sekolah atau pekerjaan. Perasaan dikucilkan pihak-pihak ini kemudian menyebabkan si penyalahguna bergabung dengan kelompok orang-orang serupa, yaitu para penyalahguna NAPZA juga Semua akibat ini berujung pada meningkatkannya perilaku penyalahgunaan NAPZA. Beberapa dampak yang sering terjadi dari peningkatan ini adalah sebagai berikut. · Dari kebutuhan untuk memperoleh NAPZA terus-menerus menyebabkan penyalahguna sering melakukan pelanggaran hukum seperti mencuri dan menipu orang lain untuk mendapatkan uang membeli NAPZA. · Menurun bahkan menghilangnya produktivitas pemakai, apakah itu di sekolah maupun di tempat kerja. Penyalahguna akan kehilangan daya untuk melakukan kegiatannya sehari-hari. · Penggunaan jarum suntik secara bersama meningkatkan resiko tertularnya berbagai macam penyakit seperti HIV. Peningkatan jumlah orang dengan HIV positif di Indonesia akhir-akhir ini berkaitan erat dengan meningkatnya penyalahgunaan NAPZA. · Pemakaian NAPZA secara berlebihan menyebabkan kematian. Gejala over dosis pada penyalahguna NAPZA menjadi lebih besar karena batas toleransi seseorang sering tidak disadari oleh yang bersangkutan. Dilihat secara lebih luas lagi, terutama dari segi kepentingan bangsa Indonesia, penyalahgunaan NAPZA pada remaja jelas-jelas membawa dampak yang sangat negatif. Ciri-ciri Pengguna NAPZA Secara medis dan hukum, penyalahguna NAPZA harus melewati satu atau serangkaian tes darah orang yang diduga menyalahgunakannya. Tetapi, sebagai orang tua dan guru, penyalahguna NAPZA dapat dikenali dari beberapa ciri fisik, psikologis maupun perilakunya. Beberapa ciri tersebut adalah sebagai berikut. a. Fisik Berat badan turun drastis. Mata cekung dan merah, muka pucat dan bibir kehitaman. Buang air besar dan air kecil kurang lancar. Sembelit atau sakit perut tanpa alasan yang jelas. Tanda berbintik merah seperti bekas gigitan nyamuk dan ada bekas luka sayatan. Terdapat perubahan warna kulit di tempat bekas suntikan. Sering batuk-pilek berkepanjangan. Mengeluarkan air mata yang berlebihan. Mengeluarkan keringat yang berlebihan. Kepala sering nyeri, persendian ngilu. b. Emosi Sangat sensitif dan cepat bosan. Jika ditegur atau dimarahi malah membangkang. Mudah curiga dan cemas Emosinya naik turun dan tidak ragu untuk memukul atau berbicara kasar kepada orang disekitarnya, termasuk kepada anggota keluarganya. Ada juga yang berusaha menyakiti diri sendiri.. c. Perilaku Malas dan sering melupakan tanggung jawab/tugas rutinnya. Menunjukkan sikap tidak peduli dan jauh dari keluarga. Di rumah waktunya dihabiskan untuk menyendiri di kamar, toilet, gudang, kamar mandi, ruang-ruang yang gelap. Nafsu makan tidak menentu. Takut air, jarang mandi. Sering menguap. Sikapnya cenderung jadi manipulatif dan tiba-tiba bersikap manis jika ada maunya, misalnya untuk membeli obat. Sering bertemu dengan orang-orang yang tidak dikenal keluarga, pergi tanpa pamit dan pulang lewat tengah malam. Selalu kehabisan uang, barang-barang pribadinya pun hilang dijual. Suka berbohong dan gampang ingkar janji. Sering mencuri baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun pekerjaan. Di samping itu, kondisi fisik penyalahguna NAPZA akan sangat mudah dikenali dalam keadaan putus obat, terutama narkotika (seperti ganja, putau dan sejenisnya), yaitu dengan ciri-ciri: air mata berlebihan banyaknya lendir dari hidung pupil mata membesar diare bulu kuduk berdiri sukar tidur menguap jantung berdebar-debar ngilu pada sendi Penting untuk diperhatikan, semua ciri-ciri di atas adalah indikator dari penyalahgunaan NAPZA, tapi BUKAN ciri yang dapat menentukan apakah seseorang sudah menyalahgunakan NAPZA. Artinya, perlu kehati-hatian dan kebijaksanaan untuk menggunakan ciri-ciri itu untuk menuduh seseorang terlibat penyalahgunaan NAPZA. Ciri-ciri ini digunakan terutama untuk meningkatkan kewaspadaan serta perhatian orang tua dan guru, untuk kemudian menindaklanjutinya dengan pemeriksaan darah pada lembaga yang berwenang bila seseorang dicurigai MENGAPA SESORANG MENGGUNAKAN NARKOBA? Mungkin orang memakai narkoba pada waktu tertentu dalam hidupnya: sewaktu muda dan mencoba-coba, atau sewaktu tua sebagai penawar rasa sakit. Mereka juga mungkin memakai narkoba dengan cara yang berbeda pada waktu yang bebrbeda pula. Ada banyak teori mengenai mengapa orang memakai narkoba tetapi tidak ada alasan yang sederhana. Penggunaan dan masalah-masalah narkoba tampaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor, sehingga tidak ada teori pun yang tampaknya cocok. Beberapa alasan seseorang memakai narkoba adalah: · Tradisi: sebagai bagian dari upacara keagamaan · Pengobatan diri: untuk mengatasi rasa takut, cemas dan depresi · Menawar rasa sakit: untuk meringankan rasa sakit fisik · Kesenangan: untuk dampak yang menyenangkan, untuk bersenang-senang · Gaya hidup: agar dapat diterima kelompok sesama · Melupakan: untuk menghilangkan kesengsaraan, kemiskinan dan ketidak beruntungan.Ada beberapa tingkatan penggunaan Narkoba? User (pemakai) Dimana si pengguna menggunakan drugs hanya sesekali saja atau jangka pendek: didorong oleh rasa keingintahuan atau keinginan untuk merasakan suasana hati atau perasaan yang baru. Di dalam tingkatan ini penggunaan drugs yang terkendali secara baik di acara/lingkungan sosial : para pengguna yang yang berpengalaman tahu narkoba apa yang cocok untuk mereka dan dalam keadaan apa yang cocok untuk dipakai. Jika mereka menyukai dampak narkoba dan kelompoknya, mereka akan memekai meskipun hal itu bertentangan dengan hukum. Abuser Penggunaan nakoba yang digunakan si pengguna tergantung pada keadaan tertentu. Tujuan tertentu; keadaan dimana berusaha melarikan atau membebaskan diri dari masalah, rasa sakit, drugs sebagai waktu penawar sementara dibutuhkan. Misalnya: karena stress, dukacita. Addict Penggunaan drugs dimanasi pengguna sudah menjadikan drugs sebagai santapan kesehariannya, jika si pengguna tidak menggunakan drugs akan mengalami kesulitan fisik dan mental.ALAH GUNA ::.. Seorang ‘Penyalahguna’ mempunyai masalah-masalah langsung yang beruhubungan dengan Obat-obatan dan alkohol dalam hidup mereka! Masalah-masalah tersebut dapat muncul secara Fisik, Mental, Emosional, atau Spiritual. Kadang kala Penyalahguna ‘dapat mengendalikan penggunaan obat-obatan atau alkohol mereka tetapi tidak seorangpun, baik anda ataupun si Penyalahguna, yang tahu apakah hari ini si Penyalahguna yang akan mengendalikan substansi tersebut, atau substansi itu yang akan mengendalikan si Penyalahguna sehingga timbulah masalah-masalah’. Masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan obat-obatan dan alkohol menjadi isu atau tema yang terjadi lagi dalam kehidupan si Penyalahguna. Para Penyalahguna tahu bahwa obat-obatan dan alkohol menyebabkan masalah yang kadang berat dan kejam. Namun, ‘Penyalahguna memilih untuk menyalahgunakan substansi tersebut’ tanpa mempedulikan apa yang mereka ketahui. Banyak Penyalahguna ‘mulai dan berhenti secara teratur’. Khususnya ketika ada masalah dan kegagalan dalam hidup mereka. Para Penyalahguna secara terus menerus berjanji untuk berhenti, untuk lebih bisa mengendalikan obat-obatan dan alkohol mereka kali lain. Para Penyalahguna berjanji pada anda, pada dirinya sendiri, dan Tuhan... mereka ‘tidak akan melakukan apalah itu lagi ’...! Tapi, setelah sahari, seminggu, dua bulan, setelah mereka membuktikan kepada dirinya sendiri mereka bisa berhenti, atau mengendalikan penggunaan obat atau kebiasaan minumnya, Penyalahguna mulai memakai sekali lagi. ‘Pola lama menyalahgunakan obat dan masalah-masalah muncul sekali lagi’. Para Penyalahguna selalu menolah untuk sepenuhnya berhenti sekali untuk selamanya. Penyalahguna tidak bisa membayangkan hidup tanpa obat-obatan dan alkohol, dan atau tanpa teman-temannya... Bahkan ketika si penyalahguna mengurangi pemakaian atau berhenti, mereka jarang ‘berganti teman-teman’... Teman-teman mereka biasanya juga menyalahgunakan obat-obatan dan alkohol. Hal itu adalah ikatan yang biasa, sering ditemukan diantara Penyalahguna Obat teman-teman mereka... Keluarga dari Penyalahguna obat dan alkohol umumnya menyiksa diri mereka sendiri. Keluarga senantiasa khawatir tentang ‘perubahan suasana hati dan emosi’ dari si Penyalahguna. Tingkah laku, Kebingungan, Kemarahan, Frustrasi, Uang, Penolakan, Rasa bersalah, Rasa Malu, Sarkasme, Menyalahkan, Caci maki yang terpendam, Kegelisahan, Stress, Masalah Seksual, Takut, Kekerasan Fisik dan Emosional, adalah faktor-faktor yang biasa di dalam rumah seorang penyalahguna. Penyalahguna seringkali menjadi Pecandu! Apa yang dimaksud dengan menyalahgunakan obat? Ketidakmampuan seseorang untuk mengendalikan jumlah asupan obat yang mereka Pakai, dan ketidaksanggupan mereka untuk mengendalikan tingkah laku mereka pada saat memakai obat! ‘Resiko’ apa yang dihadapi seseorang jika ia Penyalahgunakan obat? Ketika seseorang mulai menyalahgunakan obat-obatan, mereka juga mulai ‘menghadapi masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan obat-obatan dalam hidup mereka’. Semakin banyak seseorang menyalahgunakan obat, semakin banyak masalah yang timbul dalam hidupnya. Semakin banyak masalah yang mereka miliki dalam hidupnya, mereka akan semakin menyalahgunakan obat-obatan... Pada tahap ini sulit membedakan mana yang datang terlebih dahulu obat-obatan, atau masalah! BAHAYA PENGGUNAAN OBAT TERLARANG. Bahaya penggunaan obat terlarang ini dapat dibedakan menjadi bahaya dari segi hukum dan bahaya dari segi kesehatan. Seperti diketahui dari UU Narkotika dan UU Psikotropika maka semua orang yang terlibat dapat dikenai sanksi berupa hukuman penjara, denda, bahkan sampai hukuman mati. Mereka yang dapat dijerat hukum melalui undang-undang tersebut mencakup produsen, penyalur dan pemakai dengan gradasi (tingkatan) hukuman dan denda yang bervariasi. Bahkan orang-orang yang mempersulit penyelidikan pun dapat dijerat hukum. Denda maksimal yang tercantum dalam undang-undang tersebut adalah sebesar Rp750 juta, sedangkan hukuman maksimalnya adalah mati. Bahaya dari segi kesehatan sangat berbeda, tergantung dari jenis obat yang digunakan. Yang pasti semua obat terlarang itu menyebabkan adiksi dan gejala putus obat apabila dihentikan pemakaiannya. Adiksi yang ditimbulkan menyebabkan si pemakai menjadi ketagihan dan membutuhkan obat tersebut terus-menerus. Ketergantungan ini mengganggu fisik dan psikisnya. Intoksikasi timbul akibat dosis yang dipakai berlebihan sehingga terjadi keracunan. Intoksikasi ini umumnya menyebabkan kematian. Gejala putus obat (withdrawal syndrome) adalah, gejala-gejala yang timbul akibat dihentikannya pemakaian obat terlarang tersebut. Dalam keadaan ini maka fungsi normal tubuhnya menjadi terganggu seperti, berkeringat, nyeri seluruh tubuh, demam, mual sampai muntah. Gejala ini akan menghilang kalau diberikan lagi obat terlarang itu. Semakin lama gejala ini akan semakin hebat. Secara farmakologik, maka efek yang ditimbulkan oleh obat terlarang itu dapat dikelompokkan menjadi depresan, stimulan, dan halusinogen. Dalam kelompok depresan, maka obat terlarang ini akan menyebabkan depresi (menekan) aktivitas susunan saraf pusat. Pemakai akan menjadi tenang pada awalnya, kemudian apatis, mengantuk dan tidak sadar diri. Semua gerak refleks menurun, mata menjadi sayu, daya penilaian menurun, gangguan terhadap sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah). Termasuk kelompok depresan ini ialah opioid seperti heroin, morfin dan turunannya, sedativa seperti barbiturat dan diazepam, nitrazepam dan turunannya. Kelompok stimulan merupakan obat terlarang yang dapat merangsang fungsi tubuh. Pada awalnya pemakai akan merasa segar, penuh percaya diri, kemudian berlanjut menjadi susah tidur, perilaku hiperaktif, agresif, denyut jantung jadi cepat, dan mudah tersinggung. Termasuk dalam kelompok ini contohnya adalah kokain, amfetamin, ekstasi, dan kafein. Kelompok halusinogen merupakan kelompok obat yang menyebabkan adanya penyimpangan persepsi termasuk halusinasi seperti mendengar suara atau melihat sesuatu tanpa ada rangsang. Persepsi ini menjadi "aneh". Termasuk dalam kelompok ini contohnya ialah LSD, meskalin, mariyunana/ganja. Pemakai menjadi curiga berlebihan, mata menjadi merah dan agresif serta disorientasi. Cara-cara pemakaian obat tersebut di atas juga sangat bervariasi, dari secara oral sampai suntikan. Menyangkut cara penyuntikan, maka bahaya yang timbul adalah kemungkinan terjadinya infeksi pada tempat suntik, tertularnya radang hati (hepatitis virus B) dan HIV/AIDS. Sedangkan cara pemakaian yang dihirup melalui hidung dapat menyebabkan pendarahan di hidung (epistakis). Di samping obat-obat terlarang tersebut di atas, juga pemakaian tembakau dan alkohol sangat berbahaya bagi kalangan remaja/pelajar. Tembakau yang dihisap sebagai rokok, dari penelitian ilmiah ternyata mengandung bahan aktif lebih dari 3000 macam, termasuk nikotin, tar, CO2, CO, hidrogen sianida dan tembaga. Seorang perokok akan dihadapkan pada resiko rusaknya jaringan paru-paru, sesak napas, kanker paru dan penyakit jantung koroner. Pada intoksikasi akut dapat menyebabkan kematian. Sekarang sudah banyak negara melarang pemakaian tembakau di depan umum dan dalam setiap bungkus rokok tercantum bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh rokok. Alkohol merupakan zat yang mengandung etanol dengan fungsi menekan sistem susunan saraf pusat. Dosis rendah memang membuat tubuh menjadi segar karena bersifat merangsang. Namun pada dosis lebih besar akan timbul berbagai macam gangguan berupa rusaknya jaringan otak, gangguan daya ingat, gangguan jiwa, mudah tersinggung, menurunnya koordinasi otot (jalan jadi sempoyongan), reaksi refleks menurun, kelumpuhan bahkan menyebabkan kematian. Jadi terlihat jelas bahwa semua obat terlarang ini lebih banyak mudaratnya (ruginya) dari pada manfaatnya, karena itu harus dijauhi oleh para remaja atau pelajar. UPAYA PENCEGAHAN. Moto bahwa, "Pencegahan lebih baik dari mengobati", akan benar-benar terbukti dalam kasus pemakaian obat-obat terlarang. Mereka yang sudah terjerumus sampai menimbulkan ketergantungan akan lebih sulit ditangani dan sukar diberikan pengarahan. Umumnya sukar untuk menghentikan pemakaian obat. Jalan satu-satunya adalah perawatan di RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) dengan diusahakan pengurangan dosis sedikit demi sedikit sampai akhirnya pemakaiannya berhenti sama sekali. Tentunya biaya perawatan ini sangat mahal sekali. Dalam hal ini maka usaha pencegahan menjadi sangat penting sekali. Usaha pencegahan yang dikenal dengan "prevensi primer", yaitu pencegahan yang dilakukan pada saat penyalahgunaan belum terjadi. Usaha ini antara lain: 1. Pembinaan kehidupan beragama, baik di sekolah, keluarga dan lingkungan. 2. Adanya komunikasi yang harmonis antara remaja dengan orang tua dan guru serta lingkungannya. 3. Selalu berperilaku positif dengan melakukan aktivitas fisik dalam penyaluran energi remaja yang tinggi seperti berolahraga. 4. Perlunya pengembangan diri dengan berbagai program/hobi baik di sekolah maupun di rumah dan lingkungan sekitar. 5. Mengetahui secara pasti gaya hidup sehat sehingga mampu menangkal pengaruh atau bujukan memakai obat terlarang. 6. Saling menghargai sesama remaja (peer group) dan anggota keluarga. 7. Penyelesaian berbagai masalah di kalangan remaja/pelajar secara positif dan konstruktif. Dengan berbagai usaha tersebut semoga kalangan remaja/pelajar dapat terhindar dari penyalahgunaan obat terlarang. Masa remaja akan dapat dijalani dengan baik serta membuahkan masa dewasa yang sehat dan bertanggung jawab. Empat tahapan kegiatan kesehatan masyarakat untuk menanggulangi masalah ketergantungan obat MASALAH RESPONSE 1. Merumuskan masalah ketergantungan obat Berkaitan dengan itu semua pihak perlu jelas apa yang menjadi masalah, di kenal dua istilah, 1. penyalahgunaan obat dan zat addiktif (drug abuse), 2. penggunaan obat (drug use) dan ketergantungan obat (drug addiction). (Gourevutch, Selwyn and O’connor, 1998) Kriteria untuk menilai kedua hal itu sudah dengan jelas ditetapkan oleh WHO pada (International Classification of Diseasess WHO Geneva/ICD X, WHO 1992), bahkan kriteria diagnosa syndroma ketergantungan di tetapkan dengan jelas oleh American Psychiatric Association. (Robertson, 1999) Untuk mempermudah pembahasan penanggulangan kasus biasanya kasus ketergantungan obat di bedakan atas lima keadaan yaitu, 1. Tidak menggunakan obat, 2. Menggunakan obat dalam dosis minimal atau dalam bentuk coba-coba dengan konsekwensi ringan, 3. Ketergantungan obat, 4. Proses penyembuhan, kembali tidak menggunakan dengan kadang-kadang relapse, 5. Phase sekunder tidak menggunakan lagi. (Winters, 1999) 2. Mengapa hal itu terjadi (merumuskan faktor protektif dan resiko) Dalam kaitan faktor protektif dan resiko, beberapa hal yang patut di perhatikan ialah, : a) umumnya saling berkaitan, b) peranan faktor itu dapat berubah tergantung waktu dan kondisi, bahkan faktor protektif dapat berubah menjadi faktor resiko misalnya keluarga yang disiplin dan ketat dapat menjadi faktor protektif akan tetapi suatu saat menjadi faktor resiko. Adapun faktor protektif dan resiko itu dapat dibedakan atas empat kelompok yang interaksinya Keempat faktor itu ialah : a) Kultur dan masyarakat: 1. Kepercayaan dan pandangan akan perilaku yang baik, 2. Proses pembelajaran di masyarakat, 3. Pola kultur kelompok masyarakat dalam penggunaan obat. b) Anak: 1. Kemampuan berinteraksi social, 2. Adanya stress dan kemampuan mengatasinya, 3. Pencapaian hasil belajar, 4. Keinginan mencari sensasi dan melakukan perjudian. c) Keluarga: 1. Dukungan dan kontrol orang tua, 2.Keeratan dalam keluarga, 3. Hubungan orang tua dan anak, 4. Sikap orang tua terhadap penggunaan obat, 5. Riwayat orang tua dalam menggunakan obat, 6. Kekerasan dalam keluarga. d) Teman sebaya (peer): 1. Pola hubungan dengan teman, 2. Dukungan sosial, 3. Tekanan dari teman sebaya, 4. Penggunaan obat oleh teman sebaya (Hood, Magham, McGuire and Leigh, 1996). 3. Apa yang berhasil dilakukan Dalam kaitan itu upaya yang dapat dilakukan ialah: Pencegahan primer Untuk mencegah terjadinya kasus penyalahgunaan obat, upaya yang dapat dilakukan ialah: · Promosi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, keluarga dan anak bahwa penggunaan obat addiktif dan narkotik itu amat berbahaya, dapat merusak kesehatan fisik, mental dan sosial (McCaffrey, B. 1999 · Perlindungan khusus yaitu meningkatkan ketrampilan anak, orang tua, keluarga sehingga mampu menghindari godaan menggunakan obat misalnya dengan melakukan a) pelatihan pada orang tua agar mampu melakukan komunikasi yang baik di keluarga, berdisplin, kemampuan mengasuh sebagai orang tua, cara bagaimana org tua ikut aktif dalam kegiatan anak, mengerti masalah anak dan perhatian serta mendukung anak itu, b) pelatihan pada anak, yang berkaitan dengan ketrampilan untuk mengatasi masalah, mempunyai ketrampilan sosial seperti berkomunikasi, berteman, bernegosiasi dan tahu tentang bahaya penggunaan obat dan mampu menolak untuk menggunakan obat. c) pelatihan pada guru. 4. Bagaimana memperluas intervensi itu Demikianlah intervensi yang berhasil dilakukan, diharapkan dapat diterapkan pada pelbagai komunitas dan setting sehingga masalah yang dihadapi (prevalensi ketergantungan obat dapat ditekan). TIGA TAHAP PENCEGAHAN MASALAH NAZA 1. Pencegahan sekunder Upaya dilakukan untuk mendiagnosa secara dini kasus penggunaan obat, mencegah agar tidak terjadi addiksi, mengobatinya, bila memang sudah terjadi addiksi, upaya dilakukan untuk membatasi cacat yang terjadi baik fisik, mental maupun sosial serta menghilangkan addiksi itu. Diagnosa dini dan pengobatan segera seperti misalnya melakukan screening (Trachtenberg and Flemming, 1997). Diagnosa dini dilakukan untuk mengidentifikasi individu yang mempunyai resiko mengalami masalah penggunaan obat dan mengidentifikasi pasien yang membutuhkan penilaian lebih lanjut sehubungan dengan addiksi yang dideritanya dan menyusun rencana mengobati individu itu. Skrining dan penilaian pasien perlu dilakukan secara menyeluruh mencakup informasi personal, penggunaan obat saat ini dan yang lalu, keadaan kesehatan fisik dan mental, ada tidaknya faktor legal dan kriminal, informasi keadaan sosial dan ekonomi, keadaan keluarga, harapan dan keinginan pasien, interaksi dan support dengan institusi tertentu. Setelah itu dilakukan tindakan pengobatan segera, tindakan pengobatan medik seperti detoksifikasi (penghilangan racun/obat addiktif dari badan) hanyalah awal tindakan, sedang proses pendampingan psikologis, sosial dan ekonomi merupakan faktor penting sehingga penderita tidak kembali jatuh menjadi pengguna. 2. Pembatasan cacat Pada fase ini diharapkan penderita dan keluarganya mendapat pendampingan medis, psikologis dan sosial agar mampu mengatasi masalah. Ini termasuk tindak lanjut agar penderita dapat mengatasi masalah mental dan emosional Di kenal berbagai pendekatan di masyarakat seperti therapeutic communities, pendekatan therapeutic communities mempunyai dua ciri yang unik yaitu a) peranan masyararakat sebagai penyembuh dan pengajar dalam proses pengobatan dan b) terstruktur sebagai proses yang berkelanjutan dari proses penyadaran diri, termasuk dalam masyarakat itu ialah lingkungan sosial, kelompok sebaya dan staf pendamping, melalui pendekatan ini diharapkan penderita siap untuk kembali ke masyarakat. Pada tahap ini diharapkan akibat sosial dan psikis dapat dibatasi seperti misalnya terjadi pengurangan aktivitas kriminal dan peningkatan kegiatan penderita dalam pekerjaan yang dilakukan. 3. Pencegahan tersier Rehabilitasi Pada kegiatan ini penderita diharapkan dapat kembali berfungsi hidup secara optimum, upaya pendampingan yang di kenal sebagai re-entry program di mana penderita mulai bekerja dan hidup sebagaimana layaknya orang lain dan pada saat tertentu berdiskusi dengan pendamping mereka (psikolog dan pekerja sosial), sehingga akhirnya ia dapat berfungsi kembali sebagaimana layaknya orang biasa dan dapat mencegah supaya ia tidak menggunakan obat addiktif lagi. Oleh karena karakteristik dari ketergantungan obat penuh dengan faktor relaps maka tahap pencegahan oleh sebagian ahli dibedakan atas primary prevention, secondary prevention dan relaps prevention ( Trachenberg, 1997)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar